Tidak
ada reaksi dari Junho. Hanna merasa perlu mengulang pertanyaannya. “Apa kau
pernah menyimpan perasaan padaku? Apa benar kau memang pernah menyukaiku
seperti yang digosipkan orang-orang?”
“Mwo?”
Junho tidak menyangka Hanna menanyakan hal ini. “Apa maksudmu?” Ini cukup
menggelikan bagi Junho. Ia pun tertawa kecil.
“Ya!!
Jangan menertawaiku! Jangan pura-pura tidak tau. Dulu ada banyak gosip tentang
kita. Aku hanya ingin mengetahui kebenarannya.”
Hanna
menunggu jawaban Junho. Tidak penting memang. Namun bagi Hanna, ini cukup
penting untuk menjawab rasa ingin tahunya. Yah, meskipun ini hanya masa lalu,
ia tetap ingin mengetahui kebenarannya.
Junho
ragu. Apa ia harus benar-benar berkata jujur atau tidak. “Benar. Itu benar. Bagaimana
denganmu?”
“Aku
juga. Kau tau? Aku kesal saat mendengar kabar bahwa kau mengencani gadis lain.”
Hanna tidak ragu mengatakannya. Junho mengatakannya dengan jujur. Ia pun harus
demikian. Lagipula ini hanya perasaan masa lalu, tidak perlu disembunyikan,
bukan begitu?
Junho
tersentak kaget mendengar pernyataan Hanna. Ia bertanya-tanya bagaimana reaksi
Hanna seandainya Hanna tau jika ia berkencan dengan gadis lain hanya untuk
mengubur perasaannya pada Hanna. ‘Aiiish!! Hanna seharusnya bersamaku dari dulu
hingga sekarang,’ batin Junho .
“Bagaimana
sekarang?” giliran Junho yang bertanya. “Apa kau masih menyukaiku?”
“Mwo?”
Hanna kaget dengan pertanyaan Junho. Ia tidak tau harus menjawab apa.
Menurutnya, ia sudah melupakannya. “Bagaimana denganmu?” Ia berbalik menanyai
Junho.
“Ya!!
Aku yang bertanya duluan. Sekarang kau harus jawab jujur.” Junho hanya iseng
melontarkan pertanyaan tersebut. Ia juga tidak mengharapkan apa-apa atas
jawaban Hanna.
“Hmm…
Aku akan mengatakannya, tapi kau juga harus mengatakannya. Aku akan menghitung
sampai tiga. Saat hitungan ketiga, kita harus mengatakannya bersamaan.
Bagaimana?” Hanna mencoba membuat kesepakatan.
“Baiklah.”
“Oke.
Hana… Dul… Set!! I do!” ucap Hanna cepat.
Junho
diam. Ucapan Hanna sukses mengacaukan pikirannya. Ia sama sekali tidak menduga
hal ini.
“YAA!!!
Jung Junho!!! Kenapa kau diam!! Kau ….”
Junho
berhasil membuat Hanna diam hanya dengan satu kecupan. Hanna membatu. Ia tidak
yakin dengan apa yang dirasakannya. Junho mulai mengecup pelan bibir Hanna
dengan lembut. Ciuman singkat itu terasa begitu lama bagi Hanna. Sesaat
kemudian Junho mulai menarik diri darinya.
Hanna
masih tidak yakin apa yang terjadi. Semuanya begitu tiba-tiba. “Apa…. Apa yang
kau lakukan??” Hanna tergagap. “Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa? Kau sudah berjanji.
Apa kau sedang mempermainkanku??” teriak Hanna. Ia begitu terkejut sekaligus
kesal.
“Bukan
begitu. Aku…” Junho kaget. Ia tidak mengira Hanna akan bereaksi demikian.
“Aku
sudah mengatakan perasaanku. Tapi kau malah….” Hanna marah. Ia merasa jatuh
dalam jebakan Junho.
“YAA!!!
Goo Hanna!! Apa kau selalu sebodoh ini? Apa ciuman tadi tidak cukup sebagai
jawabanku???” Junho mendengus kesal. Ia kesal karena Hanna tidak mengerti
isyarat yang ia berikan.
“M…mwo??”
“Goo
Hanna. Aku tidak akan mengulanginya, jadi dengarkanlah baik-baik.” Junho menarik
nafas. “Aku… dari dulu hingga sekarang masih dan tetap mencintaimu.”
“……..”
“……..”
“Jinjja
yo?? Jeongmal? Kau tidak sedang membohongiku, kan?” Hanna tidak mempercayai
pendengarannya.
“Aku
sudah bilang tidak akan mengulanginya.” Junho berlalu. Ia meninggalkan Hanna
yang terdiam dan sibuk dengan pikirannya.
Hanna
senang. Ia terlalu senang atas apa yang didengarnya. Setelah sadar bahwa Junho
sudah jauh di depannya, ia berlari kecil mengejar pria tersebut.
“Junho-ya!
Kenapa kau tidak bilang dari dulu?? Ya!! Apa itu artinya kau baru saja
menyatakan perasaanmu padaku? Apa itu artinya kita berkencan?”
“Ne??
Seingatku, aku tidak mengajakmu kencan. Aku hanya mengungkapkan perasaanku. Itu
saja,” jawab Junho santai. “Tapi kalau kau ingin, aku juga tidak menolaknya,”
goda Junho.
“Ani
yo!! Ini tidak benar. Kau yang seharusnya memintaku. Bukan sebaliknya.”
“Tidak
peduli siapa yang meminta. Yang jelas, saat ini kau bersamaku.”
“…….”
Mereka
berdua kembali berjalan menyusuri tepi sungai Han. Junho dan Hanna larut dalam
pikirannya masing-masing. Hanna sangat senang. Ia tidak menyangka semuanya
terjadi sesederhana ini. Sedangkan Junho memikirkan satu hal yang
mengganggunya.
Junho
tiba-tiba berhenti. “Hana-ya.” Nada bicara Junho berubah serius. Ia menatap
Hanna dalam. “Maukah kau menungguku?
“……..”
“Tunggu
aku. Hanna-ya”
Hanna
masih tidak mengerti. Setelah membaca raut wajah pria di hadapannya, barulah ia
paham apa maksud Junho. “Jadi kau akan menerima tawaran itu?”
“Sepertinya
begitu.” Junho rasanya tak rela harus meninggalkan Hanna yang baru saja ia
raih.
“Gwenchana.
Aku sudah menunggumu cukup lama. Tiga tahun bukanlah apa-apa.” Walaupun
kedengaran meyakinkan, Hanna sebenarnya juga ragu melepas Junho. “Tapi kali ini
pastikan kau kembali tepat waktu.”
“I
will,” janji Junho, bersamaan dengan jatuhnya salju pertama di tahun itu.
Junho
menggenggam erat tangan Hanna. Perlahan ia meraih ujung dagu Hanna. Tanpa
disadari jarak di antara mereka semakin dekat. Hanna terpaku. Ia bisa merasakan
hembusan nafas hangat Junho di wajahnya. Dengan refleks Hanna memejamkan mata,
menduga-duga apa yang terjadi berikutnya. Jantung Hanna berhenti berdetak saat
Junho kembali mengecup pelan bibirnya. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Kali ini
Hanna tidak ragu membalasnya.
********
0 comments:
Post a Comment