“Yaa!!
Goo Hanna!” teriak Junho tepat di depan wajah Hanna.
“Ah…
Ne??” Hanna tersentak kaget. Teriakan Junho berhasil membawa gadis itu kembali ke dunia nyata.
“Aku
memang terlihat lebih tampan dengan setelan ini, tapi kau tidak perlu terpesona
seperti itu. Kau tau? Kau terlihat seperti orang bodoh dengan mulut terbuka
lebar. Aigoo....”
“M... Mwo??!
Mulutku tidak terbuka! Lagipula siapa yang terpesona olehmu? Ya! Kalau kau
bicara soal ketampanan, mantan kekasihku sebelumnya jauh lebih tampan darimu,”
bantah Hanna. Yah, walaupun tak bisa dipungkiri, Junho memang terlihat sangat
tampan dengan setelan tuksedo putih yang sedang ia kenakan tersebut.
“Ya
sudah. Kau menikah saja dengan pangeran tampanmu itu. Aku tidak akan melakukan
ini,” jawab Junho pura-pura kesal. Junho pun berlalu kembali ke ruang ganti
setelah memastikan setelan yang dipakainya saat ini benar-benar cocok untuk
upacara sakral satu bulan lagi.
Hanna
hanya bisa tertawa kecil melihat tingkah pasangannya itu. Saat ini mereka
tengah berada di bridal shop, mempersiapkan segala sesuatu untuk hari yang
dinanti-nantikannya. Hanna tidak menduga hidupnya akan berakhir dengan Jung
Junho. Pastilah takdir yang menyatukan mereka. Pikiran Hanna jatuh pada saat
salju pertama tiga tahun yang lalu. Saat dimana kisahnya dimulai, atau bahkan
sudah dimulai.
********
Flashback
3 tahun yang lalu
Cuaca
sore itu tidak begitu bersahabat. Sesuai perkiraan, salju pertama musim ini
akan jatuh pada hari ini. Kalau bukan karena janji dengan Junho, ia tidak akan
keluar rumah. Lebih baik di rumah dengan secangkir coklat hangat daripada harus
berdingin-dingin di luar.
“Jadi
bagaimana? Apa kau menerima tawaran itu?” tanya Hanna yang berjalan disisi
Junho.
“Entahlah.
Aku masih ragu.” Junho tidak yakin apa ia harus menerima tawaran kerja itu atau
tidak.
Junho
adalah teman terbaik bagi Hanna. Hubungan mereka saat sekolah cukup dekat
hingga tak heran ada banyak gosip tentang kedekatan mereka tersebut. Namun
hubungan mereka mulai renggang saat Hanna tau bahwa Junho berhubungan dengan
gadis lain. Hanna menjauh perlahan-lahan. Ia pun memutuskan melanjutkan
sekolahnya di luar kota untuk menghilangkan perasaannya.
Ya.
Hanna memendam perasaan pada Junho, sahabatnya sendiri. Namun ia tidak ingin
membuat Junho merasa tidak nyaman dengan perasaannya. Junho terlalu baik. Ia
tidak ingin kehilangan apa yang dimilikinya saat itu.
Sekarang,
semenjak kembalinya Hanna dan semuanya kembali normal, ia mulai memberanikan
diri menemui Junho. Mereka pun kembali seperti dulu.
“Apa
yang membuatmu ragu? Junho-ya, kau beruntung dapat tawaran kerja itu. Kalau aku
jadi kau, aku tidak akan berpikir dua kali. Aku akan langsung menerimanya.”
Bayangan bekerja di Jepang memenuhi kepala Hanna. Jepang adalah negara impian
Hanna. Tawaran apapun pasti diterimanya agar bisa ke sana.
Suasana
di antara mereka kembali hening. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.
Junho sesekali bergumam sesuatu yang tidak jelas. Seolah-olah berbicara pada
dirinya sendiri. Semakin sore angin dingin semakin banyak berhembus. Hanna
berkali-kali mengeratkan jaket tebal yang dipakainya dan mengusap-usap
tangannya berusaha menghangatkan badannya. Melihat itu Junho membalikkan badan,
bermaksud untuk membeli kopi hangat dari kedai kopi yang sesaat lalu
dilewatinya.
“Tunggu
di sini. Aku ke sana sebentar,” ucap Junho sambil menunjuk sesuatu.
“Ne.”
Junho
kemudian menuju ke arah kedai kopi yang ditunjuknya tadi. Melihat Junho yang
perlahan menjauh, tiba-tiba pikiran bahwa Junho meninggalkannya terlintas di
benak Hanna. Ada sedikit perasaan tidak rela di hatinya. Ada sesuatu yang
mengusik pikirannya. Ia merasa harus memastikan sesuatu sebelum Junho pergi.
Junho
kembali dengan berlari kecil agar kopi di tangannya tidak dingin. “Hoshh… Hosh….
Ini… Hoshhh…” Junho menyerahkan secangkir kopi hangat pada Hanna dan mengatur nafasnya kembali.
“Gomaweo.”
Hanna meraih kopi tersebut dan mulai meneguknya. Cukup hangat. Mereka kembali
menyusuri tepi sungai Han.
“Junho-ya.”
Hanna membuka percakapan.
“Hmm.
Mwo ya?”
“Aku
ingin memastikan sesuatu.”
“………”
“Tapi
kau harus janji akan mengatakan yang sebenarnya. Kau harus jujur. Ini bukanlah
sesuatu yang harus disembunyikan. Aku hanya ingin memastikan tentang masa lalu.
Kau tau? Masa lalu itu sejarah. Dan sejarah tidak bisa ubah, karena itu kau
tidak boleh bohong. Kau harus menjawabnya sesuai kenyataan di masa lalu. Kalau
sejarah dibohongi, itu akan memengaruhi masa depan. Kau mengerti? Jadi kau
harus jujur.”
Junho
bingung dengan penjelasan panjang Hanna. “Memang kau ingin menanyakan apa?”
“Kau
janji dulu akan berkata jujur!” desak Hanna. Ia sangat ingin memastikan
sesuatu. Ia begitu penasaran. Dan Hanna bukanlah gadis yang akan membiarkan
rasa penasarannya menguap. Ia tidak akan membiarkan rasa penasaran mengganggu
pikirannya. Ia harus mendapatkan jawabannya.
“Baiklah.
Aku akan berkata jujur.”
“Hmm…..
Dulu saat kita berteman begitu dekat, apa kau…. Hmm….. Apa kau merasakan
sesuatu?”
“…….”
Junho diam. Ia tidak mengerti arah pembicaraan ini.
“Apa
kau pernah menyimpan perasaan padaku?”
To be continued...
0 comments:
Post a Comment